Karakteristik Ahlus Sunnah wal Jama’ah
Karakteristik Ke-4 : Selalu berdakwah, amar ma’ruf nahi mungkar, memperbaiki kehidupan manusia. Ini sesuai dengan firman Allah :
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ
إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ
الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“ Dan hendaklah ada di
antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh
kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang
yang beruntung.” (Qs. Ali Imran : 104)
Begitu juga firman Allah :
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ
لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ
وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا
لَهُمْ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ .
“ Kamu adalah
umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang
makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.
Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di
antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang
yang fasik.” (Qs. Ali Imran:110)
Begitu juga firman-Nya,
يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ
الْآخِرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ
وَيُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَأُولَئِكَ مِنَ الصَّالِحِينَ
“ Mereka beriman kepada
Allah dan hari penghabisan mereka menyuruh kepada yang makruf, dan
mencegah dari yang mungkar dan bersegera kepada (mengerjakan) pelbagai
kebajikan; mereka itu termasuk orang-orang yang saleh.” (Qs. Ali Imran :114)
Allah melaknat orang-orang kafir dari Bani Israel yang tidak beramar ma’ruf dan nahi mungkar, sebagaimana dalam firman-Nya,
لُعِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ بَنِي
إِسْرَائِيلَ عَلَى لِسَانِ دَاوُودَ وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ ذَلِكَ بِمَا
عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ (78) كَانُوا لَا يَتَنَاهَوْنَ عَنْ
مُنْكَرٍ فَعَلُوهُ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَفْعَلُونَ (79)
“ Telah dilaknati orang-orang kafir
dari Bani Israel dengan lisan Daud dan Isa putra Maryam. Yang demikian
itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu
sama lain selalu tidak melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat.
Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.” ( Qs. al-Maidah : 78-79)
Karakteristik Ke -5 :
Memberikan loyalitas karena Allah, dan berlepas diri karena Allah.
Mencintai seseorang berdasarkan Islam dan membencinya berdasarkan Islam,
bukan berdasarkan golongan, kelompok, ormas maupun partai. Maka Ahlus
Sunnah wal Jama’ah akan menolong dan menjadikan orang-orang beriman
sebagai teman dekat dan pemimpinnya, sebaliknya tidak boleh menjadikan
orang-orang kafir sebagai teman dekat dan pemimpinnya.
Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak
mempunyai kelompok atau golongan tertentu yang mereka loyal di
dalamnya, dan membenci selainnya. Seandainya mereka masuk dalam suatu
perkumpulan, organisasi atau kelompok keislaman, itupun dengan niat agar
bisa saling membantu dalam kebaikan dan ketaqwaan. Mereka tidak fanatik
dan ta’ashub buta dengan kelompok atau golongan tersebut.
Paling tidak, mereka mempunyai tiga prinsip ketika bergabung dalam suatu organisasi atau kelompok :
(1) Organisasi atau kelompok tersebut
harus berhaluan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, walaupun banyak kekurangannya
selama itu tidak mengeluarkannya dari katagori Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
(2) Mereka tidak memberikan loyalitas
dan permusuhan berdasarkan organisasi atau kelompok tersebut, tetapi
berdasarkan Islam. Artinya setiap muslim berhak mendapatkan loyalitas
dan dukungan, walaupun bukan anggota organisasinya.
(3) Mereka tidak mengklaim bahwa
organisasi atau kelompok mereka adalah satu-satunya organisasi atau
kelompok yang paling benar, dan tidak mewajibkan kelompok lain untuk
bergabung dengan kelompoknya. Tetapi justru mereka melakukan kerjasama
dan koordinasi dengan organisasi dan kelompok lain yang berhaluan Ahlus
Sunnah wal Jana’ah dalam rangka menegakkan kebenaran dan mencegah
kemungkaran.
Diantara dalil-dalil yang menunjukkan
kewajiban memberikan loyalitas untuk Islam dan berlepas diri dari
musuh-musuh Islam, adalah:
( A). Kewajiban Berlepas Diri dari Orang Kafir dan Sesembahannya
Firman Allah :
قُلْ يَاأَيُّهَا الْكَافِرُونَ لا
أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ وَلا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ وَلا
أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ وَلا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِين
“ Katakanlah: "Hai orang-orang yang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah, Dan
kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah.. Dan aku tidak pernah
menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula)
menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah, Untukmulah agamamu dan
untukkulah agamaku". (Qs. al-Kafirun)
Begitu juga Firman Allah :
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا
بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا
بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ
أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ
“ Sesungguhnya telah ada suri
teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama
dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: Sesungguhnya kami berlepas diri
dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari
(kekafiran) mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan
kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja.” (Qs. al-Mumtahanah : 4)
(B). Larangan Mengangkat Orang Kafir sebagai Pemimpin dan Teman Dekat .
Diantara dalil larangan mengangkat orang kafir sebagai pemimpin adalah firman Allah :
لآ يَتَّخِذُ المُؤْمِنُوْنَ الكَافِرِيْنَ أَوْلِيآءَ مِنْ دُوْنِ المُؤْمِنِيْنَ
“ Janganlah orang-orang
mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan
orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia
dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari
sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu
terhadap diri (siksa) Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu).” (Qs.Ali-Imran : 28)
Begitu juga firman-Nya :
يآ اَيُّهَا الذِيْنَ آمَنُوْا لاَ
تَتَخِذُوْا بِطَانَةً مِنْ دُوِنِكُمْ لاَ يَاْلُوْنَكُمْ خَبَالاً
وَدُّوْا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ البَغْضَاءُ مِنْ اَفْوَاهِهِمْ وَمَا
تُخْفِى صُدُوْرُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمْ الآيَاتِ اِنْ
كُنْتُمْ تَعْقِلُوْنَ
“ Hai orang-orang yang beriman !
Janganlah kamu menjadikan teman dekat dari orang-orang di luar kamu
(orang kafir), mereka tidak putus-putusnya berusaha untuk mencelakakan
kamu, mereka menyukai apa-apa yang menyusahkan kamu,
sesungguhnya kebencian telah muncul dari mulut mereka, tetapi apa yang
disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar. Kami telah terangkan
tanda-tanda kepada kamu jika kamu mau berpikir.“(Qs.Ali Imran:118)
Juga firman-Nya :
يآ اَيُّهَا الذِيْنَ آمَنُوْا لاَ
تَتَخِذُوْا الْكَافِرِيْنَ أَوْلِيآءَ مِنْ دُوْنِ المُؤْمِنِيْنَ
أَتُرِيدُونَ أَنْ تَجْعَلُوا لِلَّهِ عَلَيْكُمْ سُلْطَانًا مُبِينًا
“ Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan
meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang
nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)?” (Qs. an-Nisa`: 144)
Juga firman-Nya :
يآ اَيُّهَا الذِيْنَ آمَنُوْا لاَ
تَتَخِذُوْا اليَهُوْدَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيآءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيآءُ
بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَهُمْ مِنْكُمْ فَاِنَّهُ مِنْهُمْ
“ Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi
pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi
sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka
menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.
Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang
lalim.” (Qs. al-Maidah :5)
Karakteristik Ke-6 : Mereka adalah umat pertengahan dan seimbang dalam segala hal, sebagaimana firman Allah,
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِّتَكُونُواْ شُهَدَاء عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا
“ Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang pertengahan, agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.”(Qs al-Baqarah:143)
Pertengahan di sini adalah kesimbangan hidup seorang muslim dalam seluruh aspek kehidupan, diantaranya,
Pertama : Seimbang antara ilmu dan amal.
Pengikut Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam
hidupnya harus bisa menyeimbangkan antara ilmu dan amal. Dia harus
selalu menyibukkan diri dengan ilmu dan mengamalkan sekaligus. Tidak ada
hari tanpa menuntut ilmu. Hal itu, karena ilmu adalah panduan di dalam
beramal. Ini sesuai dengan firman Allah :
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا
اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ
وَاللَّهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوَاكُمْ
“ Maka ketahuilah, bahwa
sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang Hak) melainkan Allah dan mohonlah
ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan
perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat
tinggalmu.” (Qs. Muhammad : 19)
Imam Bukhari di dalam kitab Shahihnya (1/24), mengatakan,
بَابُ الْعِلْمُ قَبْلَ
الْقَوْلِ وَالْعَمَلِ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى (فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا
إِلَهَ إِلَّا اللَّه) فَبَدَأَ بِالْعِلْمِ وَأَنَّ الْعُلَمَاءَ هُمْ
وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ
“ (Bab) Ilmu dulu sebelum ucapan dan amal perbuatan, karena Allah berfirman : “ Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang Hak) melainkan Allah.“
Allah memulainya dengan ilmu dan bahwa ulama adalah pewaris para Nabi. “
Kemudian beliau menyebutkan ayat di atas (Qs. Muhammad:19)
Berkata al-Hasan al-Bashri :
العَامِلُ عَلَى غَيْرِ عِلْمٍ كَالسَّالِكِ
عَلَى غَيْرِ طَرِيقٍ، والعَامِلُ عَلَى غَيْرِ عِلْمٍ يُفْسِدُ أَكْثَرُ
مِمَّا يُصْلِحُ، فَاطْلُبُوا العِلْمَ لا تَضُرُّوا بِالعِبَادَةِ
واطْلُبُوا العِبَادَةَ طَلَباً لا تَضُرُّوا بِالعِلْمِ فَإِنَّ قَوْمَاً
طَلَبُوا العِبَادَةَ وَتَرَكُوا العِلْمَ حَتَّى خَرَجُوا بِأَسْيَافِهِمْ
عَلَى أُمَّةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَوْ طَلَبُوا
العِلْمَ لَمْ يَدُلَّهَمْ عَلَى مَا فَعَلُوا
“ Orang yang beramal tanpa ilmu, seperti orang yang meniti di luar
jalan. Orang yang beramal tanpa ilmu lebih banyak merusak daripada
memperbaiki. Maka tuntutlah ilmu dengan tidak merusak ibadah, dan
beribadahlah dengan tidak merusak ilmu. Karena sesungguhnya terdapat
suatu kaum yang banyak beribadah tetapi meninggalkan ilmu, sehingga
mereka keluar dengan pedang-pedang mereka untuk memerangi umat Muhammad.
Seandainya mereka mau menuntut ilmu, maka ilmu tersebut tidak akan
menunjukkan kepada perbuatan tersebut.“
Walau demikian, dia tidak hanya berkutat
pada ilmu saja, tanpa diimbangi dengan amal perbuatan yang nyata dalam
kehidupan ini. Allah berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لِمَ
تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ كَبُرَ مَقْتًا عِندَ اللَّهِ أَن
تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman,
kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar
kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu
kerjakan.“ (Qs.ash-Shof :2-3)
Kedua : Seimbang antara rasa takut dan harapan.
Pengikut Ahlus Sunnah wal Jama’ah di
dalam hidupnya tidak boleh selalu diliputi rasa takut terhadap dosa-dosa
yang selama ini dikerjakannya secara berlebihan, sehingga menimbulkan
rasa putus asa terhadap rahmat dan ampunan dari Allah. Sebaliknya pula,
dia juga tidak boleh berlebihan di dalam mengharap rahmat dan ampunan
Allah sehingga meremehkan dosa-dosa yang selama ini dia kerjakan, bahkan
menganggap enteng dosa besar dengan dalih bahwa Allah Maha Pengampun.
Seorang muslim yang baik adalah yang
menggabungkan antara rasa takut terhadap siksaan Allah karena
dosa-dosanya dan dalam waktu yang sama, dia sangat mengharap rahmat dan
ampunan dari-Nya. Keduanya bagaikan dua sayap seekor burung, dengannya
dia mampu terbang ke angkasa dengan bebas dan penuh percaya diri. Jika
salah satunya hilang atau patah, maka akan terjatuh ke dalam jurang
kehancuran di dunia dan di akherat kelak.
Allah menggambarkan dengan indah kedua hal tersebut di dalam firman-Nya,
أُولَـئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ
إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ
وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا
“ Orang-orang yang mereka seru itu,
mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa di antara mereka
yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan adzab-Nya; sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti.”(Qs. al-Isra’ : 57)
Ketiga : Seimbang antara Ifrath (bersikap berlebihan) dan Tafrith (bersikap meremehkan).
Pengikut Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak
berlebih-lebihan dalam menjalankan ajaran Islam, yaitu melampaui batas
dari apa yang telah ditetapkan oleh Allah dan rasul-Nya, seperti
melaksanakan sholat tahajud tanpa tidur dan istrirahat, yang menyebabkan
lemah dan sakit, serta malas untuk menjalani kehidupan sehari-hari.
Seperti juga berpuasa ngebleng tanpa berbuka sama sekali, atau tidak mau menikah tanpa alasan yang benar.
Dalam suatu hadist yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu bahwasanya ia berkata :
جَاءَ ثَلَاثَةُ رَهْطٍ إِلَى بُيُوتِ
أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْأَلُونَ عَنْ
عِبَادَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا
أُخْبِرُوا كَأَنَّهُمْ تَقَالُّوهَا فَقَالُوا وَأَيْنَ نَحْنُ مِنْ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ غُفِرَ لَهُ مَا
تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ قَالَ أَحَدُهُمْ أَمَّا أَنَا
فَإِنِّي أُصَلِّي اللَّيْلَ أَبَدًا وَقَالَ آخَرُ أَنَا أَصُومُ
الدَّهْرَ وَلَا أُفْطِرُ وَقَالَ آخَرُ أَنَا أَعْتَزِلُ النِّسَاءَ فَلَا
أَتَزَوَّجُ أَبَدًا فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِلَيْهِمْ فَقَالَ أَنْتُمْ الَّذِينَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا
أَمَا وَاللَّهِ إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ لَكِنِّي
أَصُومُ وَأُفْطِرُ وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ
فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
“ Ada tiga orang mendatangi rumah
isteri-isteri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan bertanya tentang
ibadah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Dan setelah diberitakan kepada
mereka, sepertinya mereka merasa hal itu masih sedikit bagi mereka.
Mereka berkata, "Ibadah kita tak ada apa-apanya dibanding Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam, bukankah beliau sudah diampuni
dosa-dosanya yang telah lalu dan juga yang akan datang?" Salah seorang
dari mereka berkata, "Sungguh, aku akan shalat malam selama-lamanya."
Kemudian yang lain berkata, "Kalau aku, maka sungguh, aku akan berpuasa
Dahr (setahun penuh) dan aku tidak akan berbuka." Dan yang lain lagi
berkata, "Aku akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah
selama-lamanya." Kemudian datanglah Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam kepada mereka seraya bertanya: "Kalian berkata begini dan
begitu. Adapun aku, demi Allah, adalah orang yang paling takut kepada
Allah di antara kalian, dan juga paling bertakwa. Aku berpuasa dan juga
berbuka, aku shalat dan juga tidur serta menikahi wanita. Barangsiapa
yang benci sunnahku, maka bukanlah dari golonganku." (HR.Bukhari, 4675)
Begitu juga dalam hadist Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ
الدِّينَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا
وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَيْءٍ مِنْ الدُّلْجَةِ
"Sesungguhnya agama itu mudah, dan tidaklah seseorang berlebih-lebihan di
dalam mengamalkan agama ini, kecuali dia akan dikalahkan. Maka
berlakulah lurus kalian, mendekatlah (kepada yang benar) dan berilah
kabar gembira dan minta tolonglah dengan Al Ghadwah (berangkat di awal
pagi) dan ar-ruhah (berangkat setelah Dhuhur) dan sesuatu dari ad-duljah
((berangkat di waktu malam) ".(HR Bukhari, 38)
Allah subhanahu wa ta’ala juga
melarang umat-umat terdahulu untuk tidak berlebihan di dalam mengamalkan
agama, sebagaimana larangan Allah kepada Ahlul Kitab di dalam
firman-Nya :
قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لاَ تَغْلُواْ
فِي دِينِكُمْ غَيْرَ الْحَقِّ وَلاَ تَتَّبِعُواْ أَهْوَاء قَوْمٍ قَدْ
ضَلُّواْ مِن قَبْلُ وَأَضَلُّواْ كَثِيرًا وَضَلُّواْ عَن سَوَاء
السَّبِيلِ
“ Katakanlah: "Hai Ahli Kitab,
janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak
benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang
yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka
telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan
yang lurus." (Qs Al Maidah : 77)
Keempat : Seimbang antara Dunia dan Akherat.
Pengikut Ahlus Sunnah wal Jama’ah
dituntut memikirkan dan mempersiapkan diri untuk mencari bekal akherat,
dan di waktu yang sama dia tidak boleh melupakan nasibnya di dunia ini,
Allah berfirman :
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ
الْآخِرَةَ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِن كَمَا
أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ إِنَّ
اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
“ Dan carilah pada apa yang telah
dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah
kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah
(kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan” .(Qs. al-Qashash : 77)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengajarkan do’a untuk kepentingan dunia dan akherat. Dalam hadist Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, bahwasanya ia berkata :
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ اللَّهُمَّ أَصْلِحْ لِي دِينِي الَّذِي هُوَ
عِصْمَةُ أَمْرِي وَأَصْلِحْ لِي دُنْيَايَ الَّتِي فِيهَا مَعَاشِي
وَأَصْلِحْ لِي آخِرَتِي الَّتِي فِيهَا مَعَادِي وَاجْعَلْ الْحَيَاةَ
زِيَادَةً لِي فِي كُلِّ خَيْرٍ وَاجْعَلْ الْمَوْتَ رَاحَةً لِي مِنْ
كُلِّ شَرٍّ
"Rasulullah saw pernah berdoa sebagai berikut: "Ya Allah ya Tuhanku, perbaikilah bagiku agamaku sebagai benteng urusanku; perbaikilah bagiku duniaku
yang menjadi tempat kehidupanku; perbaikilah bagiku akhiratku yang
menjadi tempat kembaliku! Jadikanlah ya Allah kehidupan ini mempunyai
nilai tambah bagiku dalam segala kebaikan dan jadikanlah kematianku
sebagai kebebasanku dari segala kejahatan!" (HR Muslim, 4897)
