Ikthilaf (perbedaan pendapat) sebenarnya merupakan akibat logis dari terbukanya pintu ijtihad. Jadi bukan sebagai sumber tafarruq (perpe...
Ikthilaf (perbedaan pendapat) sebenarnya merupakan akibat logis
dari terbukanya pintu ijtihad. Jadi bukan sebagai sumber tafarruq
(perpecahan). Sumber tafarruq dan permusuhan adalah ananiyah (egois) dan
nafsu syaithaniyah. Berikut ini pokok-pokok kajian Dr. Mohammad Natsir
tentang hal itu, yang diangkat dan disarikan dari bukunya,
Fiqhud-Da’wah.
Timbulnya ikhtilaf di kalangan kaum muslimin dalam berbagai masalah
furu’iyah, adalah suatu hal yang wajar dan logis. Itu sebagai
konsekuensi dari terbukanya pintu ijtihad. Sejak zaman Rasulullah saw.,
baik tafaquh fiddin (pendalaman pemahaman Islam) secara umum, maupun
ijtihad secara khusus, sudah mulai memasyarakat di kalangan para
sahabat. Oleh karena itu, ikhtilaf pun sudah mulai muncul di kalangan
mereka. Namun demikian, hal itu tidak membuat mereka berpecah belah.
Para sahabat senantiasa berpegang teguh pada petunjuk Risalah itu
sendiri:
“Maka apabila kamu bersilang pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah dia kepada Allah dan Rasul.” (an-Nisa’ 59).
Di kalangan para imam mujtahid terkemuka pun demikian. Antara satu
dengan lainnya, dalam banyak hal, saling berbeda pendapat, terjadi
ikhtilaf. Imam Syafi’i misalnya, banyak hasil ijtihadnya yang berbeda
dengan gurunya, Imam Malik. Demikian pula Imam Hanbali, tidak sedikit
hasil ijtihadnya yang berbeda dengan gurunya, Imam Syafi’i. Sementara
itu, Imam Abu Hanifah pun demikian. Hasil ijtihadnya, banyak yang
berbeda dengan ketiga imam mujtahid yang tersebut lebih dahulu.
Walhasil, ikhtilaf sebagai dampak yang logis dari ijtihad, sama sekali
tidak menjadi masalah di kalangan para imam mujtahid tersebut.
Mereka juga senantiasa berpegang teguh kepada pedoman yang telah
dipakai oleh para shahabat Nabi saw. Yaitu merujuk kepada Al-Qur’an dan
Sunnah, bila terjadi silang pendapat. Bahkan dengan penuh tawadhdhu’,
masing-masing mengingatkan dengan tegas terhadap murid dan pengikutnya,
agar jangan sekali-kali mengklaim bahwa fatwa atau hasil ijtihad para
imamnya itu sebagai pendapat yang final, yang tidak bisa diganggu gugat
lagi.
Dengan ungkapan dan gayanya masing-masing, para imam mujtahid itu
menyuruh untuk meninggalkan fatwa atau hasil ijtihadnya, bila ternyata
di kemudian hari, fatwa dan hasil ijtihadnya itu tidak sesuai dengan
al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Jadi al-Qur’an dan Sunnah Rasul lah yang
senantiasa harus menjadi pegangan dan pedoman, sedang fatwa atau hasil
ijtihad para imam itu dikalahkan.
Pesan Imam Syafi’i antara lain: “Bila kamu jumpai dalam kitabku
sesuatu yang menyalahi Sunnah Rasul saw. maka ambillah Sunnah Rasul
tersebut dan tinggalkanlah apa yang kufatwakan.“ (al-Baihaqi, al-Manar IV-693).
Pesan Imam Malik bin Anas, antara lain: “Sesungguhnya aku
adalah manusia biasa yang bisa salah dan bisa benar. Oleh karena itu,
perhatikanlah pendapatku. Maka setiap pendapatku yang sesuai dengan
al-Qur’an dan Sunnah, ambillah dia. Sedang setiap pendapatku yang
menyalahi al-Qur’an dan Sunnah, tinggalkanlah dia!” (Ibnu Abdil- Barr, al-Manar IV-572).
Ketika Imam Abu Hanifah ditanya oleh salah seorang muridnya,
tentang bagaimana sikap yang harus dilakukan bila ternyata fatwa atau
hasil ijtihad beliau di kemudian hari menyalahi al-Qur’an atau Sunnah
Rasul, beliau menjawab: “Tinggalkanlah pendapatku, bila ternyata dia
menyalahi Kitab Allah, dan tinggalkan pula pendapatku, bila dia
ternyata menyalahi Sunnah Rasulullah.” (Imam Syaukani, al-Qaulul Mufiid 23) .
Semakin tinggi bobot seorang Mujtahid, semakin tinggi pula kadar
tasamuh (toleransi)-nya terhadap “hak” dan “kesempatan” orang lain untuk
berijtihad dan berbeda pendapat. Baik orang lain itu kebetulan hidup
sezaman, ataupun sesudahnya. Mereka berijtihad dengan mengerahkan
segenap potensinya, dengan penuh tanggung jawab, dan disertai dengan
ketulusan hati, mendambakan keridhaan-Nya semata.
Sebagaimana telah dimaklumi, Imam Syafi’i rahimahullah tidak
segan-segan untuk merevisi dan memperbaiki fatwanya sendiri, bila memang
ternyata perlu dikoreksi. Sehingga kita kenal istilah Qaul Qadiim
(pendapat lama) dan Qaul Jadiid (pendapat baru). Qaul Qadiim merupakan
kumpulan fatwa-fatwanya ketika masih tinggal di Irak. Sedang Qaul Jadiid
merupakan kumpulan fatwa-fatwanya setelah beliau hijrah ke Mesir.
Begitu tinggi tawadhdhu’nya sehingga di kesempatan yang lain, beliau berkata: “Setiap
masalah apa saja yang ternyata dijumpai hadits shahih dari Rasulullah
saw. menyalahi pendapatku, maka aku tentu rujuk kepadanya dan
meninggalkan pendapatku itu. Baik di saat hayatku maupun sesudah
matiku.” (Imam Syaukani, al-Qaulul Mufiid 24).
Untuk ruju’ (kembali pada kebenaran al-Qur’an dan Sunnah), bila
ternyata memang keliru, bagi mereka bukan suatu ‘aib (cela), tapi
sebagai suatu kewajiban yang harus dilakukan, suatu tindakan yang mulia
dan terpuji. Betapa “kologial”nya, segar dan tulus hubungan pribadi di
antara mereka, sekalipun fatwa-fatwa mereka dalam banyak masalah saling
berbeda, bahkan terkadang saling bertolak belakang. Imam Ahmad bin
Hanbal telah meriwayatkan, Imam Syafi’i pernah berkata kepada kami:
“Apabila kamu menjumpai suatu hadits shahih, maka sampaikanlah kepadaku,
supaya aku dapat berpegang kepadanya” (al-Manar, IV-694).
Di balik ketoleransianya yang demikian tinggi, mereka juga penuh
tanggung jawab, berani menanggung resiko dalam mempertahankan pendapat
dan hasil ijtihadnya. Imam Malik in Anas misalnya, rela dihukum pukul di
hadapan umum daripada harus melepaskan pendirian yang diyakininya. Imam
Ahmad bin Hanbal, bersedia dirantai oleh pihak penguasa,
KhalifahMa’mun, karena beliau menolak kehendak khalifah yang menyuruh
untuk mengubah sikap dan pendiriannya tentang suatu aqidah. Sementara
Imam Abu Hanifah, lebih suka dimasukkan penjara ketimbang dipaksa
menjadi Qaadhi di masa Khalifah al-Mansur. Bahkan akhirnya, beliau wafat
dalam penjara.
Lebih dari itu semua, para imam pantang pula menggunakan kekuasaan
duniawi untuk memonopoli dan memaksa pikiran orang banyak agar bersedia
menerima pendiriannya. Imam Malik misalnya, ketika Khalifah Harun
al-Rasyid bermaksud hendak mendekritkan fatwa beliau sebagai “mazhab
resmi” yang harus dianut oleh seluruh warganya, maka Imam Malik
berkeberatan dan meminta agar Khalifah jangan melakukan hal itu (Imam
Syukani, al-Qaulul Mufiid 28).
Demikianlah para sahabat dan imam mujtahid di kalangan ulama salaf
telah meragakan teladan yang indah, baik dengan perkataan maupun dengan
sikap dan perbuatan, bagaimana mempraktikkan ijtihad, mencurahkan
segenap potensi untuk mencari kebenaran dan bertahkim (berhukum) kepada
Kitabullah dan Sunnah Rasul, dengan penuh tanggung jawab dan disertai
toleransi demikian tinggi serta ketulusan hati demi mendambakan
keridhaan Allah semata. Sehingga ikhtilaf yang terjadi di antara
kalangan mereka tidak melahirkan perpecahan. Keutuhan umat tetap
terpelihara, tanpa kejumudan (kebekuan), dan ketuguhan pendirian dapat
dilestarikan, tanpa keta’ashuban (fanatik).
Sumber Tafarruq
Pernah Imam Ghazali memberi nasihat kepada mereka yang hendak
memasukki pembahasan masalah-masalah khilafiyah (perbedaan pendapat),
hendaknya terlebih dahulu memenuhi ketentuan-ketentuan yang sudah
muttafaq alaih, sudah menjadi konsensus di kalangan umat Islam, dan
prinsip ini harus dipegang dengan teguh. Taqwa dan wara’ (kebersihan
ruhani dan kebersihan dari segala kemungkaran) misalnya, yang sudah
disepakati oleh semua ahli agama sebagai perbekalan hidup, harus tetap
dijaga dan selalu menjadi acuannya. Segenap yang dilarang oleh Allah dan
Rasul-Nya, harus dijauhi, dan segenap yang diperintah oleh Allah dan
Rasul-Nya, harus dipatuhi, Itulah antara lain, menurut Imam Ghazali ,
bekal-bekal untuk memasuki pembahasan maslah-masalah khilafiyah, agar
tidak terjerumus dalam forum “jadali” (perdebatan yang semata untuk
mencari menang dan kepuasan nafsu), yang akhirnya berakibat perpecahan
(Qisthatul Mustaqiim, Tafsir Muhammad Abduh, jilid III, 15).
“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kamu sekalian ke
dalam keselamatan (kedamaian) secara utuh, dan janganlah kamu mengikuti
langkah-langkah syaithan, karena dia itu sesungguhnya musuhmu yang
nyata.” (QS. al-Baqarah 208).
Sementara Syaikh Muhammad Abduh, dalam mengomentari ayat 153 dan 159 dari surat al-An’am, antara lain mengatakan, “Ayat-ayat
ini menjadi hujjah bagi para ulama “Ushul” (baca: Ushul Fiqh) yang
berpendapat bahwa haq (kebenaran) itu adalah satu, tidak berbilang.
Alangkah baiknya, apabila mereka yang berpegang pada prinsip ini,
mewajibkan atas diri mereka, untuk tetap berpadu (sepakat) pada setiap
kali mereka menemui perbedaan paham, lalu membahasnya untuk mencari
kebenaran, tanpa ta’ashub dan tanpa nifaq, sehingga apabila mereka dapat
melihat kebenaran tersebut, mereka akan bersepakat atasnya. Tapi, bila
sebagian dari mereka belum dapat melihatnya, mereka harus tetap tekun
mencarinya dengan ikhlas, tanpa seorang pun di antara mereka yang
memusuhi dan tidak ada pula yang menjadikannya sebagai alat untuk
perpecahan. Jalan haq adalah persatuan dan bersserah diri kepada Allah,
sedang jalan-jalan syaithan adalah perpecahan dan permusuhan. Hal ini
memang telah dimaklumi di kalangan manusia, namun karena kecerdikan
syathan dalam merayu dan memikat manusia untuk mengajak kepada
jalan-jalan yang ditempuhnya itu, digambarkannya seolah-olah ada
keuntungan dan kebaikan dalam perpecahan dan permusuhan, maka pada
akhirnya dari kalangan manusia banyak yang terpengaruh ….”
Dengan demikian, kiranya sudah tidak sulit lagi bagi kita, untuk
mencari sumber perpecahan secara jujur. Yaitu, karena luputnya
keikhlasan hati, sementara ananiyah dan nafsu syaithaniyah datang
menggantikannya.
“Maka sudahkah engkau perhatikan, ihwal orang yang menjadikan
hawa nafsunya sebagai tuhannya, dan Allah pun membiarkan dia sesat,
walaupun dia tahu bagaiamana jalan yang seharusnya ditempuh.” (QS al-Jaatsiyah, 23).
Bila nafsu syaithaniyah telah menjadi kendali, menjadi acuan yang
mesti dituruti, maka segala macam perpecahan, bahkan permusuhan dalam
bentuk apa saja bisa terjadi.
Bila ananiyah telah bercokol dalam hati, maka muncullah penyakit
riya’, angkuh, ta’ashub, mau benar dan menang sendiri, dan lain
sebagainya dari penyakit yang sejenisnya. Selanjutnya, bila riya’ telah
terjangkit di kalangan pemimpin dan ulama, sementara ta’ashub juga sudah
melanda para pengikut dan umat, maka untuk ruju’ dari kekeliruan
menjadi terhalang. Terhalang oleh gengsi dan prestise diri maupun
golongan. Mereka lebih suka bertahkim kepada khalayak ramai, kepada
jumlah murid dan pengikut masing-masing. Para murid dan pengikut
dibiarkan berdebat satu sama lain, di mana saja mereka bertemu sambil
membagi-bagi api neraka. Karena perdebatan mereka lebih banyak diwarnai
oleh ejekan dan celaan, demi membela dan menegakkan tuah Tuan Guru
masing-masing.
Adapun din (Islam) itu sendiri, malah jauh telah tercecer di tengah
jalan. Ia tidak lagi dirasakan sebagai milik Allah, akan tetapi
seolah-olah sudah menjadi milik dan monopoli masing-masing golongan,
untuk melayani kehendak dan kepentingan golongannya masing-masing.
“Sesungguhnya orang-orang yang membagi agama mereka, sehingga
menjadi beberapa golongan yang berpisah-pisah, bukanlah engkau Muhammad
dari golongan mereka sedikit pun.” (QS. Al-An’am 159).
Jadi bukan ikhtilaf itu sendiri yang menyebabkan timbulnya
tafarruq, tapi karena lepasnya keikhlasan dari diri kita, sementara
ananiyah dan nafsu syaithaniyah datang bercokol menggantikannya.
Artikel Dr.Mohamad Natsir ini diambil dari Majalah Al-Muslimun
No. 271, Desember 1992 dan ditulis ulang serta disunting tanpa mengurani
inti tulisan oleh Muhammad Cheng Ho, Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa
(JIB).
