Ibadah kurban merupakan ibadah yang dilakukan berkaitan dengan penyembelihan hewan. Selain tatacara penyembelihan yang diatur dalam sy...
Ibadah kurban merupakan ibadah yang dilakukan berkaitan dengan
penyembelihan hewan. Selain tatacara penyembelihan yang diatur dalam
syari’at Islam, ia juga menentukan kriteria hewan yang hendak
disembelih. Oleh karena itu, pada artikel kali ini akan dibahas panduan
praktis tentang hewan yang akan disembelih sesuai dengan syari’at.
Berkenaan dengan tema ini penulis banyak mengambil faidah dari kitab
Shohih Fiqih Sunnah karangan Abu Malik Kamal bin As-sayyid dan kitab
Fiqih Sunnah karangan Sayyid Sabiq. Di antara kriteria hewan kurban
adalah sebagai berikut:
1. Tidak boleh dijadikan sebagai kurban kecuali hewan ternak yaitu
unta, sapi, domba/kambing dan biri-biri, seperti disebutkan dalam firman
Allah swt :
لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ
“supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah dirizkikan Allah kepada mereka.” (al-Hajj, 22: 34)
Madzhab jumhur adalah pendapat yang terpilih, berdasarkan ayat
tersebut. Karena tidak ada riwayat dari Nabi saw, beliau pernah
berkurban dengan selain unta, sapi dan kambing atau domba.
2. Umur yang dibolehkan pada unta, sapi dan domba atau kambing.
Diriwayatkan dari Jabir ra, ia berkata, Rasulullah saw bersabda :
لَا تَذْبَحُوْا إِلاَّ مُسِنَّةً إِلاَّ أَنْ يَعْسُرَ عَلَيْكُمْ فَتَذْبَحُوْا جَذَعَةً مِنَ الضَّأْنِ
“janganlah kalian menyembelih kecuali musinnah, kecuali jika hal itu
sulit bagi kalian maka sembelihlah jadz’ah dari domba.” (Shahih
diriwayatkan oleh Muslim (1963), Abu Dawud (2797), an-Nasa’i (VII/218)
dan Ibnu Majah (3141))
Al-Musinnah adalah dua dari segala sesuatu berupa unta, sapi dan
kambing, atau lebih. Musinnah dinamakan juga tsaniyah. Ats-Tsaniyah dari
sapi adalah yang telah berumur dua tahun dan memasuki tahun yang
ketiga. Ats-Tsaniyah dari unta adalah yang berumur lima tahun dan
memasuki tahun keenam. Tidak sah kurban dengan umur yang dibawah itu
pada kedua hewan tersebut. (Al-Mabsuth (XII/9), al-Mudawwamah (II/2), al-Hawi (XIX/89), dan al-Mughni (IX/348)
Adapun musinnah pada domba ialah yang berumur satu tahun dan memasuki
tahun kedua. Namun, jika sulit mendapatkannya tsaniyah dari domba, maka
dibolehkan jadz’ah yaitu yang berumur enam bulan. Inilah pendapat
jumhur ulama. Akan tetapi mereka membolehkan jadz’ah dari domba secara
mutlak, walaupun tidak kesulitan memperoleh musinnah! Mereka membawakan
makna hadist ini kepada anjuran. Mereka berdalil dengan sejumlah hadist
yang membolehkan berkurban dengan jadz’ah dari domba secara mutlak.
Namun sanad hadist-hadist itu lemah. Zhahirnya adalah tidak sah jadz’ah
dari domba, kecuali jika sulit mendapatkan musinnah, berdasarkan zhahir
hadits dan kedhaifan hadist menyelisihinya. Wallahu ‘alam. (Al-Mabsuth (XII/9), al-Mudawwanah (II/2), al-Hawi (XIX/89) dan al-Mughni (IX/348))
Adapun kambing biasa, maka umur yang sah dijadikan kurban adalah
tsaniyah atau lebih, berdasarkan hadist yang telah lalu. Adapun jadz’ah
dari kambing biasa tidak dapat dijadikan hewan kurban, berdasarkan
kesepakatan para ulama. (At-Tirmidzi menukilnya dalam as-Sunan (IV/194)
dan Ibnu Abdil Barr dalam at-Tamhid (XXIII/185), tetapi at-Tha dan
al-Auza’i menyelisihinya.)
Diriwayatkan dari al-Bara’ bin ‘Azib ra, ia berkata, “pamanku, Abu
Burdah berkurban sebelum shalat, maka Rasulullah saw berkata kepadanya,
“kambingmu itu kambing pedaging.” Ia berkata, “wahai Rasulullah
sesungguhnya aku memiliki kambing jadz’ah.” Rasulullah
berkata “sembelilah dan tidak boleh untuk selainmu.” (Shahih
diriwayatkan oleh al-Bukhari (5556) dan Muslim (1961)
Diriwayatkan dari ‘Uqbah bin ‘Amir, Nabi saw memberikan kepadanya
beberapa ekor kambing agar di bagi-bagi kepada para sahabatnya untuk
kurban , hingga tersisa seekor ‘utud. Lalu dia memberitahukannya kepada
Nabi, maka beliau beliau berkata, “sembelilah untukmu.” Para ulama
membawakan hadist ini sebagai khususiyah (kekhususan) bagi ‘Uqbah bin
‘Amir, berdasarkan sabda Nabi, “sembelilah untukmu.” Ini diperkuat lagi
dengan tambahan pada hadist yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi: “dan
tidak ada keringanan bagi seorangpun setelahmu.” (Fath al-Bari (X/17),
Musykil al-Atsar (XIV/416) dan sunan al-Baihaqi (IX/70))
3. Tidak apa mengurbankan binatang yang dikebiri. Abu Rafi’ berkata,
“Rasulullah saw mengurbankan dua ekor kambing kibas yang warna
putih-hitam dan dikebiri.” (Diriwayatkan oleh Ahmad di dalam Musnad
Ahmad, jilid VI, hlm 8.)
Berkenaan dengan hewan
kurban yang mengalami cacat, maka hal ini memerlukan perincian
karena tidak semua cacatnya menjadikan tidak sah untuk disembelih.
Adapun cacat yang menjadikan tidak sah atau hewan yang tidak boleh
dikurbankan adalah (1) cacat matanya atau buta yang jelas cacatnya. Jika
butanya belum jelas –orang yang melihatnya menilai belum buta- meskipun
pada hakikatnya hewan tersebut satu matanya tidak berfungsi maka boleh
dikurbankan. Demikian pula hewan yang rabun senja. Ulama madzhab
syafi’iyyah menegaskan hewan yang rabun boleh digunakan untuk kurban
karena bukan termasuk hewan yang buta sebelah matanya. (2) Sakit
yang jelas sakitnya. (3) Pincang yang jelas pincangnya. Artinya pincang
dan tidak bisa berjalan normal.
Akan tetapi jika baru kelihatan pincang namun bisa berjalan dengan
baik maka boleh dijadikan hewan kurban. (4) Kurus yang tidak ada
dagingnya, yaitu tidak memiliki daging karena kelemahan dan
kekurusannya. Diriwayatkan dari al-Bara’ bin ‘Azib ra, Rasulullah saw
bersabda:
أَرْبَعٌ لَا تُجْزِئُ فِي الْأَضَاحِيِّ: الْعَوْرَاءُ الْبَيِّنُ عَوَرُهَا، وَالْمَرِيضَةُ الْبَيِّنُ مَرَضُهَا،
“ada empat cacat yang tidak sah sebagai hewan kurban: buta matanya
yang jelas kebutaannya, sakit yang jelas sakitnya, pincang yang jelas
pincangya, dan kurus yang tidak ada dagingnya.” (Diriwayatkan oleh
Tirmidzi (1479), Abu Dawud (2802) dan Ibnu Majah (3144))
Cacat ini menyebabkan tertolaknya hewan kurban dan kurbannya tidak
sah, menurut kesepakatan ulama. Adapun cacat yang menyebabkan makruh
untuk berkurban adalah hewan yang sebagian atau keseluruhan telinganya
terpotong dan tanduknya pecah atau patah.
Jenis cacat terakhir yang tidak berpengaruh pada hewan kurban (boleh
dijadikan untuk kurban) namun kurang sempurna adalah selain cacat di
atas atau cacat yang tidak lebih parah dari itu, maka tidak berpengaruh
pada status hewan kurban. Misalnya tidak bergigi (ompong), tidak
berekor, bunting atau tidak berhidung. Cacat seperti ini tidak haram
meskipun sebagian ulama ada yang tidak membolehkannya. Wallahu a’lam.!
***
Oleh: Hasan Faruqi, S.Pd.I (Sekretaris Dewan Dakwah Kab. Bandung)